Monday 14 October 2019

Bisa! Tapi, ada syaratnya.

Tantangan dan Si Bodoh!

Ucapnya seperti menantangku untuk segera menjawab. Si penanya tidak sadar bahwa aku sekarang berbeda dengan satu setengah dekade yang lalu. Mereka yang selalu mengusikku dengan hal-hal yang sepele waktu aku masih kecil hingga membuat keluargaku mengirimku ke rumah paman untuk menetap di sana, tidak paham bahwa ucapan mereka saat ini akan merubah nasib mereka selamanya. Banyak hal yang telah mengubahku. Dan itu pastinya bukanlah hal yang mereka kira.

"Baiklah, aku terima tantanganmu. Tapi, aku bersumpah akan menghantui kalian kalau kalian tidak menjaga keluargaku kalau aku tidak berhasil!" ucapnya secara cepat dan keras sambil melompati pembatas jembatan Bengawan Solo di waktu banjir tahun 1994.

Semua terjadi secara cepat. Tidak ada yang bisa mencegah. Para pemuda perundung itu saling tatap dan terdiam melihat gelombang air sungai yang bergemuruh menelan cepat sosok teman yang baru 3 hari kembali ke desa dari rumah pamannya yang meninggal karena tuberkolusis.

Cerita pendek bersambung...

Terlambat!


Aku tergesa dan panik.

Bukanlah bawaanku untuk terburu-buru, tetapi saat ini, bercelana pendek, berkemeja lusuh -salah ambil karena kukira jaket-, bersandal selop hotel -oleh-oleh dari liburan terakhir-, dan tanpa bawa HP kupacu motor CRF 250 cc berknalpot raung menggelegar menuju ATM kampus tunanganku. Dia sedang menungguku di sana malam ini, sedang menangis lirih ketika kudengar suaranya melalui HP-ku dan minta segera dijemput. Semburat semangat siaga dan jaga dalam diriku langsung terpantik untuk segera menjemputnya tanpa menanyakan sebab tangisnya. Malam sudah menjelang bukan waktu yang baik bagi seorang gadis untuk berada di luar sendirian, maka aku harus segera menjemputnya karena diminta dan tanpa perlu penjelasan apa pun. Setidaknya itulah anggapanku. Tapi, pertanyaan apa yang terjadi malam ini tetap memenuhi isi kepalaku.

Seiring jalan dan raungan motorku, pikirku bergumul dengan berbagai pertanyaan yang hanya malah menambah kecepatan motorku dan tidak memberikan ketenangan sama sekali. Ah, ada apakah sebenarnya ini? Apa yang membuatnya menangis?

Besok merupakan ulang tahun pertama pertunangan kami. Seratus lima hari lagi, kami akan melangsungkan ijab sekalian resepsi pernikahan. Gedung, katering, undangan, penginapan orang tua dan saudara, seserahan, dan paket bulan madu tinggal transfer pelunasannya lewat klikan HP. Rencana tinggal di Kota Baru Parahyangan setelah bulan madu juga tinggal masuk koper saja setelah kami menyepakati kredit rumah selama 5 tahun dengan salah satu agen properti. Semua yang kami rencanakan dengan matang dan serius selama 5 tahun pacaran dan setahun tunangan membuahkan hasil sempurna. Takdir baik telah selalu tersenyum kepada kami berdua dengan segala kemudahannya. Apa yang sebenarnya terjadi malam ini? Apakah akan mempengaruhi rencana pernikahan kami?

Kulihat tunanganku sedang duduk diemperan ATM kampus, merangkul lututnya, dan menunduk. Senyum cantiknya tidak terlihat. Wajahnya tertutup rambut dan suara tangis sesenggukannya terdengar sangat lirih namun jelas. Aku langsung menyandarkan motor dan segera menyongsong dirinya yang berada kurang lebih 3 meter dari motorku, tetapi baru separuh jalan, kudengar dia berkata, 

"Ke UGD Rumah Sakit Sadikin, Aa, cepetan." sambil berdiri perlahan dari duduknya. Tanpa senyum cantik yang biasa menyapaku, tanpa memperlihatkan wajahnya, tanpa ciuman di tangan yang biasanya.

Kuingin menanyakan yang terjadi, namun pikirku mengurungkan dan mengatakan tidak perlu tergesa mencari jawaban. Itu tidaklah penting dan bisa ditanyakan nanti. Ke UGD segera adalah prioritas!

Aku kembali ke motor, segera kuputar dan kemudian kupacu menembus dingin dan malam saat dia sudah membonceng dan melingkarkan tangannya ke perut. Dalam hatiku kalut dan banyak antrian pertanyaan yang ingin segera aku keluarkan agar tidak meluber menghanyutkan konsentrasiku dalam berkendara, namun aku merasa kalau saat ini tidaklah banyak yang akan dia ucapkan dan jawab.

Lalu lintas berpihak pada kami dan jalan terasa lengang hingga motor bisa meliuk dan terpacu seperti biasa. Raungan suara knalpot kustom motorku adalah satu-satunya yang bisa menembus helm Schuberth kesayanganku. Hingga pada suatu saat, suara knalpot itu lenyap sama sekali dan hanya terdengar keheningan. Kemudian terdengar isak tangis tunanganku dan suara, 

"Eneng, sedih, Aa...Eneng belum minta maaf sama Abi."
"Eneng, belum minta maaf sama Abiii!..."

Tangisnya semakin meninggi, namun masih lirih.

Syok! Pikirku langsung berisi kenanganku bersama Ayah tunanganku: kebaikannya dalam bertetangga dan sosialisasi, keaktifannya dalam kegiatan keagamaan, keramahannya kesemua orang, dan saat ngobrol tentang berumah-tangga dengannya 2 hari lalu. Ah, apa yang terjadi dengan calon mertuaku hingga harus masuk UGD? Aku tidak pernah mendengar ada riwayat sakit kronis ataupun akut. Ah, hidup memang penuh misteri dan kejutan yang tiba-tiba.

Kuingin rasanya mengatakan sesuatu untuk menenangkan tunanganku dan mengingatkan bahwa semua sudah takdir dan kita hanya perlu pasrah dan bersabar, menunggu kejelasan sampai di rumag sakit, namun sebelum kusempat mengeluarkan sepatah kata pun, terdengar lagi suaranya.

"Bagaimana nanti pernikahan kita, Aa? Aku sudah janji ke Abi untuk kasih cucu yang banyak dan lucu-lucu."

Ucapan ini membuat tenggorokanku seperti tercekik, dadaku seperti tidak mau mengembang untuk membiarkan oksigen masuk, hidungku seperti tidak mau berusaha menghirup udara dan air mataku mengalir tanpa henti membuat kaca helmku berkabut dan pandangan kabur. Tak kuasa aku menahan air mataku sendiri, apalagi harus menenangkannya. Yang ada hanya kecepatan motorku yang melaju semakin cepat menembus jalan dalam suara isak tangisku yang semakin menjadi. Itulah yang aku lakukan. Kekuatan dan ketenangan pikir dalam menghadapi segala rintangan yang sering aku tunjukkan di hadapan tunanganku, menjadi roboh dengan isakan tangis yang pasti terdengar olehnya. 

Pandangan kabur dan tidak jelas seharusnya membuatku berhenti berkendara untuk memperbaiki pandangan atau setidaknya menurunkan kecepatan, tapi malah sebaliknya, motorku melaju dengan kecepatan tinggi karena kuplintir gas di stang motor hingga tidak tersisa ruang untuk berotasi. Tidak terpikirkan apa pun sepanjang jalan selain harus sampai secepatnya di UGD.

Sesampainya di depan gerbang parkir sebelum UGD, tunanganku memintaku untuk menurunkannya terlebih dahulu. Aku menyetujuinya karena memang parkiran motor letaknya agak masuk ke dalam kompleks rumah sakit. 

Saat turun dia berkata dengan lemah lembut, 

" Terima kasih untuk semuanya, Aa. Maafkan Eneng kalau merepotkan," ucapnya lirih sambil berjalan menjauhiku, berlalu meninggalkanku yang berupaya memahami maksud perkataannya. 

Bagiku, menjemputnya adalah tugas calon suami untuk memberikan pelayanan kepada calon pasangan dan itu sama sekali tidaklah merepotkan. Ah, biarlah dia mengungkapkan perasaannya saat ini dengan kata-katanya sendiri. Biarlah!

Aku sendiri pun merasa diliputi kesedihan yang sangat dan tidak bisa tergambarkan saat melihat dia berjalan pelan menuju UGD. Dari kaca spion, sekilas kulihat dia berhenti sejenak, menolehkan kepalanya arahku dan memperlihatkan jelas wajahnya yang tersenyum lebar padaku saat rambut yang tadinya menutupi wajahnya tersibak terkena angin malam. Seperti tahu kalau aku sedang mengamatinya. Senyuman itu walaupun sekejap selalu membayangiku sampai saat ini.

Bersambung...